Beranda » Berkaca dari Pernikahan Remaja di Lombok, Ini Dampak Psikologis Pernikahan Dini Bagi Anak

Berkaca dari Pernikahan Remaja di Lombok, Ini Dampak Psikologis Pernikahan Dini Bagi Anak

by Geralda talitha
Pernikahan anak di Lombok

AmanImanImun.com – Pernikahan dini merupakan fenomena yang masih kerap terjadi di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di Nusa Tenggara Barat (NTB).

Baru-baru ini, sebuah video pernikahan pasangan anak di bawah umur viral di media sosial. Pasangan tersebut adalah YL, siswi berusia 15 tahun yang baru lulus Sekolah Dasar, dan RN, siswa SMK berusia 16 tahun, keduanya berasal dari Lombok Tengah.

Pernikahan yang berlangsung pada Rabu, 21 Mei 2025 ini mengundang perhatian dan keprihatinan banyak pihak.

Dalam video yang beredar, kedua mempelai tampak mengenakan pakaian adat Sasak lengkap dengan prosesi tradisional nyongkolan serta iringan musik gendang beleq.

Namun, selain kemeriahan acara, tampak juga momen-momen yang menunjukkan ketegangan emosional, terutama dari pihak mempelai wanita.

YL terlihat marah dan bahkan berteriak memanggil ayahnya saat berada di atas pelaminan, serta melakukan salam metal sebagai bentuk ekspresi yang tidak biasa dalam pernikahan. Situasi ini menjadi gambaran nyata tekanan psikologis yang mungkin sedang dialami oleh anak-anak tersebut.

 Dampak Psikologis Pernikahan Dini

Pernikahan dini, yang didefinisikan sebagai pernikahan yang terjadi sebelum usia 18 tahun, membawa sejumlah dampak negatif yang mendalam pada kesehatan mental anak.

Anak-anak yang menikah di usia sangat muda belum memiliki kesiapan emosional dan psikologis untuk menghadapi kompleksitas kehidupan rumah tangga. Berikut adalah beberapa dampak psikologis yang umumnya dialami:

1. Stres dan Tekanan Emosional yang Berat

Pernikahan membawa tanggung jawab besar, seperti memenuhi kebutuhan keluarga, membangun komunikasi dengan pasangan, dan menghadapi peran sebagai orang tua.

Pada usia remaja, ketika seseorang sedang berada pada masa pencarian jati diri dan perkembangan emosi yang sangat dinamis, beban seperti ini dapat menimbulkan stres berlebihan. Stres yang tidak tertangani bisa berkembang menjadi gangguan kecemasan hingga depresi.

2. Ketidaksiapan Menghadapi Konflik dan Perubahan

Remaja belum sepenuhnya matang secara emosional untuk menghadapi konflik rumah tangga yang mungkin terjadi. Ketidakmampuan mengelola konflik ini dapat memicu perasaan frustrasi, kemarahan, dan rasa putus asa.

Pada kasus YL, terlihat ketegangan emosional yang mungkin berkaitan dengan ketidaksiapannya menghadapi situasi tersebut.

3. Kehilangan Kesempatan dan Identitas Diri

Pernikahan dini sering kali menghambat kelanjutan pendidikan dan pengembangan diri anak. Anak yang menikah dini berisiko mengalami keterbatasan dalam mengejar cita-cita dan mengembangkan potensi diri.

Hal ini dapat memicu perasaan kehilangan, penyesalan, dan bahkan rasa rendah diri yang berkepanjangan.

4. Isolasi Sosial dan Kurangnya Dukungan

Pasangan muda seringkali mengalami isolasi sosial karena pernikahan mereka dianggap tabu atau tidak lazim oleh lingkungan.

Rasa terasing ini dapat memperburuk kesehatan mental dan membuat mereka kesulitan mencari dukungan emosional yang dibutuhkan.

5. Risiko Kekerasan dalam Rumah Tangga

Ketidaksiapan mental dan emosional dapat menyebabkan ketegangan dan konflik yang lebih sering terjadi. Risiko terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) meningkat pada pasangan yang menikah dini karena kurangnya keterampilan komunikasi dan pengelolaan emosi.

6. Gangguan Kesehatan Mental Jangka Panjang

Stres kronis, kecemasan, dan depresi yang dialami pada masa awal pernikahan dini berpotensi berkembang menjadi gangguan kesehatan mental yang serius dan berkepanjangan. Hal ini tidak hanya mempengaruhi pasangan, tetapi juga berimplikasi pada kualitas pengasuhan anak mereka kelak.

Pentingnya Perlindungan dan Intervensi

Kasus YL dan RN di Lombok Tengah menjadi contoh nyata bagaimana pernikahan dini dapat memberikan tekanan psikologis yang berat bagi anak-anak.

Meskipun telah ada upaya dari keluarga dan pemerintah desa untuk mencegah terjadinya pernikahan ini, kenyataannya prosesi tersebut tetap berlangsung. Hal ini menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih efektif dan menyeluruh.

Penting bagi keluarga dan masyarakat untuk memahami bahwa melindungi anak dari pernikahan dini tidak hanya soal mencegah akad nikah, tetapi juga memastikan kesehatan mental dan kesejahteraan mereka terjaga.

Konseling pranikah, edukasi mengenai kesehatan mental, serta dukungan sosial harus diberikan sebagai bagian dari intervensi untuk mencegah dan mengatasi dampak psikologis yang muncul.

Pernikahan dini membawa konsekuensi psikologis yang serius bagi anak-anak, mulai dari stres berat, ketidaksiapan emosional, hingga risiko gangguan mental jangka panjang.

Kasus viral di Lombok Tengah menggarisbawahi perlunya perhatian lebih dari berbagai pihak untuk melindungi hak dan kesehatan mental anak.

Melalui kolaborasi keluarga, masyarakat, dan pemerintah, diharapkan praktik pernikahan dini dapat diminimalisir dan anak-anak dapat tumbuh dalam lingkungan yang aman, sehat, dan mendukung perkembangan psikologis mereka secara optimal.

related posts

Leave a Comment