AmanImanImun.com – Lonjakan kasus chikungunya di wilayah selatan China tengah menjadi perhatian serius Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Dalam peringatan terbarunya, WHO menyatakan bahwa wabah virus chikungunya yang kini merebak di Provinsi Guangdong berpotensi meluas ke berbagai negara dan berdampak signifikan terhadap kesehatan masyarakat internasional.
Data terbaru menunjukkan, dalam beberapa pekan terakhir, lebih dari 7.700 kasus terdeteksi di Guangdong, dengan mayoritas berasal dari kota industri Foshan.
Pemerintah China segera mengambil langkah cepat melalui penyemprotan insektisida skala besar, inspeksi rumah ke rumah, serta penelusuran titik-titik potensial berkembangbiaknya nyamuk penular penyakit ini.
Mengenal Virus Chikungunya
Chikungunya adalah penyakit yang disebabkan oleh virus chikungunya yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus, atau dikenal juga sebagai nyamuk harimau. Gejala utama meliputi demam tinggi dan nyeri sendi hebat yang dapat berlangsung berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Walau jarang menyebabkan kematian, penyakit ini sering membuat penderitanya lemah berkepanjangan.
WHO mencatat, penyakit ini telah terdeteksi di 119 negara dengan sekitar 5,6 miliar orang hidup dalam wilayah berisiko. “Chikungunya belum dikenal luas masyarakat, namun penyebarannya sangat cepat dan meluas,” ujar Diana Roja.
Berdasarkan laporan otoritas pengendalian penyakit Guangdong, antara 27 Juli hingga 2 Agustus tercatat 2.770 kasus baru di Foshan.
Kasus juga muncul di Guangzhou dan Hong Kong. Beberapa wilayah menerapkan langkah ekstrem, seperti memutus aliran listrik bagi warga yang menolak kerja sama dalam pengendalian vektor. Di Foshan, rumah sakit menyiapkan kelambu dan tempat tidur khusus bagi pasien chikungunya.
Meski pemerintah setempat menyatakan laju penularan mulai menurun, tantangan tetap besar. Kondisi iklim yang lembap serta potensi masuknya kasus dari luar negeri menjadi faktor penghambat penanggulangan.
WHO menilai pola penyebaran kali ini mirip epidemi besar di Samudra Hindia tahun 2004–2005 yang menginfeksi lebih dari setengah juta orang di seluruh dunia. Pada 2025, wabah besar kembali dilaporkan di Reunion, Mayotte, dan Mauritius. Bahkan, di Reunion diperkirakan sepertiga penduduk terinfeksi. Transmisi lokal kini juga terdeteksi di Eropa, termasuk Prancis dan Italia.
Dengan tingkat kematian di bawah satu persen, risiko mungkin terdengar rendah. Namun, jika jutaan orang terinfeksi, jumlah korban jiwa bisa mencapai ribuan.
Perubahan iklim memperluas jangkauan nyamuk pembawa virus. Aedes albopictus, misalnya, kini menyebar lebih jauh ke wilayah utara seiring naiknya suhu global. Nyamuk ini aktif menggigit pada pagi dan sore hari. WHO menganjurkan masyarakat untuk menghindari gigitan dengan menggunakan kelambu, obat nyamuk, serta menghilangkan genangan air di lingkungan sekitar.
Hingga kini, dua jenis vaksin chikungunya telah disetujui di beberapa negara, namun distribusinya belum merata. Penanganan tetap berfokus pada pereda gejala seperti parasetamol. WHO mendesak negara-negara untuk memperkuat sistem deteksi dini dan respons cepat agar tidak kecolongan menghadapi potensi ledakan kasus di masa depan.